Dr. Husain Heriyanto

Buku ini adalah karya dari seorang ulama yang sangat dihormati. Saya diberi kesempatan untuk menulis pengantar untuknya. Dari tahun 2003 hingga 2019, saya mengajar filsafat lingkungan di Universitas Indonesia, yang kini dikenal sebagai Sekolah Ilmu Lingkungan (SIL). Salah satu pertanyaan yang kerap muncul dari mahasiswa adalah mengenai relevansi filsafat terhadap masalah lingkungan. Mereka sering bertanya, mengapa filsafat harus terlibat dalam isu-isu lingkungan, padahal persoalan lingkungan seperti air bersih, pencemaran sungai, polusi udara, kelangkaan sumber daya alam, atau kepunahan spesies. Bagi mereka, sepertinya filsafat tidak memiliki peran praktis dalam hal ini.

Namun, kebutuhan akan pendekatan humanistik dalam memahami dan mengatasi masalah lingkungan, yang mempertimbangkan mindset dan cara hidup manusia, justru sering diungkapkan oleh aktivis lingkungan. Saya mengutip kata-kata Martin Palmer, seorang aktivis lingkungan terkemuka: “Selama lebih dari tiga dekade, lembaga-lembaga internasional, ilmuwan, pemerintah, dan banyak organisasi nonpemerintah telah mengumpulkan dan menganalisis data tentang kerusakan yang kita lakukan terhadap planet ini secara detail. Namun, krisis lingkungan masih terjadi di sekitar kita, dan pemahaman kita masih belum cukup. Pada dasarnya, krisis lingkungan adalah krisis cara berpikir. Kita adalah hasil dari apa yang kita pikirkan, yang pada gilirannya dibentuk oleh budaya, keyakinan, dan kepercayaan kita. Jika para ahli lingkungan membutuhkan kerangka kerja untuk menjadikan nilai-nilai dan keyakinan tersebut efektif, apakah ada cara yang lebih baik selain kembali bekerja sama dengan kelompok-kelompok internasional dan jaringan masyarakat terbesar di dunia? Mengapa kita tidak melihat peran dari agama-agama besar di dunia?”

Ini adalah perspektif yang dibagikan oleh para pemerhati lingkungan seperti Martin Palmer dan Gary Gardner, menyoroti pentingnya bagaimana manusia memandang alam. Aktivitas seperti menanam pohon sering kali dilihat hanya dari sudut pandang pragmatis, yaitu ekonomi dan bisnis, yang membuatnya sulit dilakukan tanpa insentif finansial. Namun, motivasi untuk tindakan seperti menanam pohon seharusnya lebih dalam, didorong oleh nilai-nilai etis. Ini tercermin dalam tradisi agama, seperti hadis yang mengatakan, “Jika besok kalian tahu akan terjadi kiamat, maka tanamlah sebuah pohon.” Pendekatan ini menuntut visi yang lebih luas, di mana etika lingkungan, filsafat lingkungan, ekologi manusia, budaya, dan psikologi menjadi penting.

Buku karya Syekh Jawadi Amuli, murid dari dua tokoh ulama-filsuf terkemuka, Imam Khomeini dan Allamah Thabathabai, menegaskan pentingnya perubahan mendasar dalam cara kita memandang alam semesta. Bukan sebagai barang instrumental saja, melainkan sebagai entitas ekologis yang memiliki nilai lebih dari sekadar ekonomi. Alam merupakan entitas yang dibutuhkan oleh semua makhluk hidup dan berinteraksi secara timbal balik dengan kita. Pengetahuan lingkungan adalah tentang koneksi timbal balik antara manusia dan alam, antara biotik dan abiotik. Perluasan pengetahuan manusia ke sains dan eksplorasi luar angkasa hanya menambah kompleksitas isu lingkungan yang dihadapi.

Syekh Jawadi Amuli dalam bukunya menjelaskan bahwa isu lingkungan melibatkan tiga aspek: material, material-spiritual, dan spiritual sepenuhnya. Mengutip perkataan Imam Ja’far, “Kehidupan yang nyaman membutuhkan udara yang bersih, air bersih, dan tanah yang subur,” beliau menunjukkan bahwa bahkan spiritualitas pun memberi perhatian kepada isu lingkungan. Al-Qur’an sendiri mencatat, “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia,” yang menegaskan bahwa kerusakan lingkungan adalah masalah yang sudah diakui dan semakin parah, sekarang merambah sampai ke bawah bumi bahkan ke angkasa.

Syekh Jawadi Amuli menekankan bahwa inti dari krisis lingkungan adalah krisis pemikiran dan spiritualitas. Beliau merujuk kepada Sayid Hossein Nasr, seorang murid Allamah Thabathabai dan tokoh penting di era modern yang menghubungkan isu lingkungan dengan spiritualitas. Nasr berpendapat bahwa krisis lingkungan adalah hasil dari pandangan jangka panjang manusia terhadap alam sebagai ‘prostitute of nature’, sebuah metafora yang menggambarkan bagaimana alam dieksploitasi tanpa dihargai atau dipedulikan.

Untuk mengatasi krisis ini, diperlukan perubahan radikal dalam cara berpikir dan bertindak kita. Imam Khomeini, guru dari Syekh Jawadi Amuli, telah memberikan contoh praktis dalam kehidupan sehari-hari, seperti mematikan lampu yang tidak digunakan dan menggunakan setiap lembar tissue dengan hemat, untuk mengurangi pemborosan. Praktik sederhana seperti ini, jika diterapkan secara luas, dapat memiliki dampak signifikan dalam upaya pelestarian lingkungan. Praktik seperti ini, jika diadopsi secara luas, dapat berdampak signifikan terhadap penyelamatan alam. Ini menunjukkan bagaimana tindakan individu bisa memicu perubahan sosial, politik, bahkan hukum, dengan mengubah pandangan kita tentang alam dari sekadar ‘biaya’ menjadi ‘investasi’.

Langkah-langkah individu seperti ini, jika ditingkatkan menjadi kesadaran sosial, gerakan politik, atau bahkan gerakan hukum, dapat mengubah paradigma kita dalam memandang alam. Daripada melihat alam sebagai biaya, kita harus memandangnya sebagai investasi. Paradigma saat ini yang menganggap alam sebagai biaya harus diubah. Perusahaan-perusahaan yang mengambil sumber daya alam dan diwajibkan untuk menanam kembali sering kali melihat kegiatan penanaman sebagai beban, bukan investasi. Tanpa perubahan cara pandang ini, upaya pelestarian lingkungan tidak akan efektif.

Syekh Jawadi Amuli menekankan bahwa inti dari krisis lingkungan adalah krisis pemikiran dan spiritualitas. Dia memperlihatkan bahwa tokoh seperti Sayid Hossein Nasr, yang juga merupakan murid dari Allamah Thabathabai, telah mengaitkan isu lingkungan dengan aspek spiritual. Nasr menyatakan bahwa krisis lingkungan merupakan konsekuensi jangka panjang dari cara pandang manusia yang merendahkan alam, memperlakukannya sebagai objek yang hanya ada untuk dimanfaatkan. Ini menuntut sebuah perubahan radikal dalam sikap dan tindakan kita terhadap alam.

Terakhir, apa yang membedakan antara ekologi islam dan gerakan ekologi lainnya seperti gerakan Deep ecology? Gerakan deep ecology menekankan pada dimensi intraspesies di mana kita menghargai nilai kehidupan, tetapi abai terhadap persoalan sosial seperti keadilan. Banyak persoalan lingkungan terjadi karena masalah ketidakadilan. Masalah seperti ini tidak disentuh oleh deep ecology. Sementara ekologi sosial sangat concern terhadap isu-isu sosial, seperti WALHi. Namun masih kurang karena hanya mengatasi masalah lingkungan melalui persoalan sosial. Sementara ekologi Islam yang ditawarkan oleh Syekh Jawadi Amuli ini bisa mengakomodasi kedua gerakan ini, baik dari sisi ekosentris maupun dari sisi keadilan sosial. Ini relevansi prinsip-prinsip Islam yang digunakan oleh Syekh Jawadi Amuli dapat menerima dengan kedua gerakan ekologi ini. Mazhab-mazhab ekologi biasanya cenderung hanya melihat dari satu pendekatan saja. Dalam karya Syekh Jawadi Amuli ini kita akan menemukan ekologi integratif, karena visi kosmologi, visi moral, dan visi tentang nilai-nilai spiritualitas dapat menampung bagaimana gerakan-gerakan ekologi yang ada sekarang ini menjadi terpayungi dalam sebuah visi bersama. Jadi dapat terbentuk yang saya namakan dengan aliansi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *