Parid Ridwanudin, MA

Membahas isu agama dan lingkungan merupakan hal yang sangat mendesak karena manusia terdiri dari dua aspek fundamental: unsur jasmani dan rohani. Unsur jasmani yang dominan adalah air, yang memegang peranan krusial dalam menjaga kesehatan tubuh kita. Darah dan plasma kita mayoritas terdiri dari air, dan kekurangan air dapat menyebabkan berbagai penyakit. Air, sebagai simbol penting dalam lingkungan hidup, sangat menentukan kualitas kesehatan fisik kita.

Selanjutnya, ketika kita mempertimbangkan aktivitas sehari-hari seperti tidur, di mana oksigen terus masuk dan keluar dari tubuh kita, dan kebutuhan kita akan oksigen dan air saat kita bangun, menjadi jelas betapa pentingnya air dan udara yang bersih untuk kelangsungan hidup kita. Polusi air dan udara dapat berdampak fatal, tidak hanya pada individu tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Demikian pula, makanan yang kita konsumsi, yang tumbuh dari bumi, membutuhkan tanah yang subur dan iklim yang mendukung. Kerusakan lingkungan dapat mengakibatkan kelaparan dan krisis pangan. Jadi, lingkungan bukan hanya membentuk kondisi hidup kita tetapi juga keberlangsungan hidup kita secara kolektif.

Dalam konteks agama, penting untuk diingat bahwa sebelum manusia didefinisikan sebagai zoon politicon (makhluk sosial), homo faber (manusia yang bekerja), homo ludens (manusia yang bermain), atau economicus (manusia yang konsumtif), manusia pada dasarnya adalah homo religious (makhluk yang beragama), yang mencari spiritualitas. Pencarian spiritual ini sering kali diwakili melalui simbol alam seperti gunung, pohon, dan laut, menunjukkan hubungan intrinsik antara manusia dengan alam. Oleh karena itu, membicarakan agama berarti juga membicarakan hubungan kita dengan lingkungan.

Buku yang kita bedah saat ini menambahkan wawasan penting ke dalam diskusi ini, bergabung dengan karya-karya penting lainnya tentang lingkungan dari perspektif agama. Diantaranya adalah karya klasik Seyyed Hossein Nasr, “Manusia dan Alam,” yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, buku “Fiqhul Biah” oleh Muhammad Husein Syirazi yang mengeksplorasi dampak perang dan pencemaran laut, “Ri’ayatul Bi’ah fi Syariatil Islam” oleh Yusuf Qardhawi, serta kontribusi dari KH. Ali Yafie, perintis Fikih Lingkungan di Indonesia dengan karyanya “Merintis Fikih Lingkungan Hidup.” Terakhir, buku “Towards an Understanding of Environmental Ethic From A Qur’anic Perspective” oleh Prof. Ibrahim Ozdemir. Buku karya Syekh Jawadi Amuli ini melengkapi dan memperkaya khasanah literatur lingkungan yang ada, menawarkan perspektif agama yang mendalam terhadap isu lingkungan.

Dalam al-Qur’an sendiri ayat-ayat mengenai lingkungan banyak disebutkan pada juz 10-30. Ayat-ayat pada juz 1-10 banyak membahas mengenai teologi, hukum, dan sejarah. Juz 10-30 membahas teologi, sejarah, dan isu ekologis-kosmologis. Maka ketika kita membaca al-Qur’an dari juz 30, maka kita akan menemukan pembahasan teologis yang erat kaitannya dengan kosmologis-ekologis. Menarik cara membaca terbalik seperti ini, karena akan membangun kesadaran bahwa al-Qur’an ketika dibaca demikian akan berwarna sangat ekologis. Seperti pada surah Al-Naba ayat, dalam ayat-ayatnya kita menemukan “Bukankah Kami telah menjadikan bumi sebagai hamparan, dan gunung-gunung sebagai pasak?”, ini sangat ekologis sekali. Gunung sebagai tiang pancang, langit sebagai atap, dan bumi sebagai hamparan. Ayat-ayat semacam ini jika digali akan menghasilkan mentalitas ekologis yang kuat.

Kemudian hal lain yang saya dapatkan dalam buku Syekh Jawadi Amuli ini, beliau mencoba melakukan dokonstruksi terhadap suatu kata kunci yang penting, karena ini dielaborasi oleh para mufasir timur tengah. Dalam buku ini, Syekh Jawadi Amuli menafsirkan kata Ista’mara dengan sangat baik. Tapi saat ini, kata Ista’mara diterjemahkan menjadi kolonialisasi dalam Bahasa Arab kontemporer. Padahal makna awalnya sangat baik, tapi di timur Tengah, makna ini berubah sejak kolonoalisme masuk ke mereka (halaman. 39). Padahal makna awalnya “mengejar kemajuan” dan atau “memakmurkan bumi” dan atau “membuat bumi berumur Panjang”. Dalam Bahasa kini, Isti’mar itu dapat dipahami sebagai upaya “ekologi berkelanjutan” atau “keadilan antar generasi” bukan “Pembangunan berkelanjutan”. Jadi banyak sebenarnya politik-politik bahasa yang harus didekonstruksi.

Buku ini, selain mengajak pembacanya menyelami ayat-ayat qauliyyah dan kauniyyah, juga mengajak kita membaca situasi dan atau struktur ekonomi politik yang saat ini masih tidak adil. Saat ini, negara-negara industri telah dan sedang melanggengkan penguasaan terhadap sumber daya alam di negara-negara Selatan melalui pendekatan soft power. Kita lihat, AS, China, EU, tetap melanggengkan kepentingan ekonomi politik untuk membangun negaranya dengan mengorbankan negara setempat. Yang tersisa, hanya bencana, kemiskinan, dan kerusakan sumber daya alam. Terkait dengan ekonomi politik, biasanya penjajah datang mengeruk tetapi yang merasakan dampaknya bukan mereka, melainkan masyarakat lokal. Itu juga yang terjadi di Indonesia. Pernahkah kita menghitung berapa kali banjir terjadi di Indonesia sejak tahun 2000. Saya telah menghitung bencana di Indonesia 2000-2019. Dari bencana banjir saja, sudah hampir 10 ribu kali. Lebih dari 5 ribu meninggal dan jumlah yang mengungsi karena bencana banjir hampir 30 juta orang. Ini menunjukkan bahwa jumlah pengungsi ekologis di Indonesia sangatlah besar, bahkan jika dibandingkan dengan jumlah korban perang. Tetapi sampai saat ini jika terjadi bencana tindakan yang dilakukan pemerintah hanyalah membuatkan posko bencana saja, dan tidak menyelesaikan persoalan sampai ke hulu. Kita tidak pernah melakukan problematisasi sampai ke hulunya. Coba kalau misalnya hutan tidak dihancurkan, politik tata ruang diselesaikan, banjir bisa dimitigasi dan diselesaikan.

Lalu saya juga memiliki pengalaman praksis di dalam forum-forum internasional. Dalam forum-forum itu negara-negara industri tidak pernah mau tunduk pada kesepakatan global (misalnya batas temperatrur 1,5 derajat celsius). Karena ketika suhu bumi naik 1-2 derajat celcius akan menyebabkan iklim yang ekstrem dan sangat berpengaruh kepada kehidupan seluruh ekosistem bumi. Perubahan suhu ini akan menyebabkan kegagalan panen yang akan menyebabkan krisis pangan. Ikan-ikan juga akan bermigrasi ke tempat yang lebih dingin. Lalu akan banyak dataran yang tenggelam, termasuk Indonesia yang merupakan negara kepulauan. Tetapi dalam COP 27 kesepakatan ini tidak dilakukan. Malah mereka mengirimkan pelobi fossil sebanyak 633 orang dan memasuki forum strategis pengambilan keputusan internasional. Begitupun dalam Cop 28 kemarin di Dubai tidak ada kesepatakan batas temperature global. Ini berarti bahwa negara-negara industri ini tidak memikirkan nasib generasi yang akan datang, dan hanya memikirkan bisnisnya. Sebagai contoh seperti industri mobil listrik, ini bukan bicara tentang penyelamatan bumi, melainkan penyelamatan bisnis. Karena yang diuntungkan adalah brand-brand perusahaan yang sudah sustainable seperti BMW, Volvo, Fox wagen.

Syekh Jawadi Amuli, melalui buku ini, mengajak kita untuk meninjau kembali falsafah manusia. Selama ini telah banyak penjelasan filosofis ttg manusia: ada homo luden, homo faber, homo economicus, zoon politicon, dll. Syekh Jawadi Amuli mengajak kita untuk melihat bahwa manusia itu adalah homo ecologicus dan sekaligus homo religious. Hal ini dicirikan dengan beberapa hal: penghormatan terhadap alam, menekankan prinsip keadilan sosial, hidup sederhana (secukupnya), dan lain sebagainya.

Syekh Jawadi Amuli juga membicarakan tentang politik lingkungan, soal pemerintahan. Menjaga keadilan ekologis dan kelestarian lingkungan tidak hanya tugas individual, tetapi juga tugas pemerintah yang diberikan amanah untuk mengatur urusan publik. Di dalam buku ini, Syekh Jawadi Amuli menjelaskan bahwa di antara ciri pemerintah yang benar adalah yang menempatkan keadilan ekologis dan kelestarian lingkungan sebagai prioritas utama dalam kebijakan politiknya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *