Dr. M. Subhi-Ibrahim
Direktur Paramadina Graduate School of Islamic Studies
Buku “Islam dan Lingkungan Perspektif Qur’ani Holistik” karya Syekh Abdullah Jawadi Amuli ini penting dalam diskurus lingkungan hidup karena, terutama, belum banyak buku karya intelektual Muslim yang menyinggung wacana ini. Hanya 2 buku yang diingat para aktivis lingkungan terkait agama dan lingkungan hidup, yaitu karya Seyyed Hossein Nasr berjudul “Encounter Man and nature” dan “Religion and the Order of Nature”. Keduanya jadi referensi legendaris bagi pegiat lingkungan sejak tahun 60-an. Kelangkaan referensi itulah yang membuat buku karya pemikir Iran ini begitu signifikan.
Selanjutnya, tentang tema Islam dan Lingkungan Hidup ini, saya ingin mengutip ayat al-Qur’an berbunyi “:telah benderang kerusakan di darat dan lautan akibat ulah tangan manusia” (QS. Al-Rum: 41). Secara sederhana, sejatinya, biang kerok munculnya krisis ekologis, ancaman kerusakan lingkungan karena manusia. Loh, koq manusia? Mengapa manusia? Bila merujuk ke ayat al-Qur’an, jelas bahwa manusia berdimensi dua. Ia bisa menjadi agend perbaikan (maslahah) tapi juga berpotensi jadi aktor perusak. Saat Allah hendak menyiptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi, malaikat protes. “Mengapa Engkau ingin ciptakan manusia sebagai khalifah yang mereka merusak dan suka bertumpahan darah?” Jadi, sejak awal penciptaan pun, peran manusia telah dipertanyakan.
Saya ingin mengemukakan, bagaimana berbahayanya manusia dengan ilustrasi. Bila kita pernah ke kebun Binatang, kita bisa lihat ragam Binatang. Binatang apa yang paling sadis dan berbahaya? Mungkin, kita akan menunjuk harimau, buaya, ular dan sejenisnya yang masuk kategori Binatang buas. Namun, mari kita lihat lebih detil. Misalnya harimau, bagaimana cara dia memangsa korbannya? Harimau akan mengejar, mencakar, mencabik-cabik korbannya, lalu dimakan. Perilaku membunuh mangsa yang dilakukan harimau itu berlangsung sejak ribuan tahun silam sampai saat ini. Metode membunuhnya, sama. Hanya satu metode. Begitu pula dengan Binatang lainnya. Coba kita bandingkan dengan manusia yang termasuk dalam animal kingdom. Kita akan temukan fakta, manusia memiliki ragam metode untuk membunuh, dari yang paling ringan sampai yang paling sadis. Bahkan, untuk metode memakan “mangsanya’ manusia punya aneka ragam resep. Untuk memakan ayam, manusia bisa menjadikanya, sate, opor, gemprek dan lain sebagainya. Jadi, pertanyaannya, Binatang manakah yang paling sadis dan berbahaya di kebun binatang? Tampaknya, kita, manusia ini, hanya perlu cermin untuk menjawabnya.
Kini, dalam ekosistem bumi, manusia menjadi makhluk hidup yang berada di puncak rantai makanan. Manusia “makan” apa saja. Manusia makan daging-dagingan, tetumbuhan, dan memanfaatkan semua yang disediakan “ibu” bumi. Atas nama pemenuhan kebutuhannya, manusia membabat hutan untuk membuat pemukiman, kertas; membongkar gunung untuk diambil batu-batuannya; menyelam ke dasar lautan tuk member minyak yang terkandung di perut bumi dan lain sebagainya. Dengan nafsu “kapitalistiknya”, manusia menguasai alam secara semena-mena. Manusia tak kunjung
puas mengeksploitasi alam demi kepentingan industri dan kepentingan lain yang menguras sumber daya alam.
Yang ingin ditekankan dalam deskripsi di atas adalah bahwa, krisis ekologis terkait erat dengan manusia dan relasinya dengan alam. Dengan kata lain, akar problem lingkungan di muka bumi ini adalah manusia. Di kalangan pemikir dan pegiat lingkungan hidup, dikatakan bahwa, salah satu penyebab kerusakan lingkungan adalah cara pandang antroposetrisme yang melihat manusia sebagai “sentrum”, makhluk Istimewa yang memiliki hak untuk mengeksplorasi alam dan secara gegabah diartikan juga hak untuk mengeksploitasi alam. Paradigma antroposentrime ini terdapat di berbagai agama, terutama agama semitik, Abrahamic religion: Yahudi, Kristen, dan Islam. Makna manusia sebagai “khalifah” di muka bumi diselewengkan sebagai hak penuh untuk melakukan apa pun tanpa menimbang kelestarian alam.
Saat alam mulai protes dengan munculnya berbagaai bencana ekologis, barulah manusia tersadarkan. Meskipun, lagi-lagi, kesadaran ekologis, kepedulian terhadap krisis lingkungan itu tidak merata muncul di benak semua umat manusia. Oleh karena itu, perlu Gerakan bersama-sama untuk menumbuhkan kesadaran ekologis, terutama di kalangan umat beragama, yang sejatinya, memiliki ajaran tentang relasi yang ramah antara manusia, alam, dan Tuhan. Sederhananya, mulailah dari diri sendiri melihat melihat lingkungan sekitar. Sekecil apa pun, lakukan sesuatu yang membuat lingkungan alam kita jadi lebih baik, misalnya dengan membuang dan mengelola sampah. Dan bila memungkinkan, menciptakan gerakan bersama, yang pasti, memiliki efek jauh lebih terasa. Itu pekerjaan rumah kita semua.
Wa Allahu a’lam bi al-shawab
Catatan Seminar dan Bedah buku “Islam dan Lingkungan Hidup” karya Syekh Abdullah Jawadi Amuli pada 27 Mei 2024, di Aula Karakter FKIP Uhamka, Serang Banten, yang diselenggarakan atas Kerjasama FKIP Untirta, Universitas Paramadina dan Sadra International Institute.