Bedah buku “Ibn Rusyd: Lentera Dua Peradaban” karya Majid Fakhry terbitan Sadra Press diselenggarakan tanggal 2 Mei 2019, bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Karena itu, menurut Dr. Yusuf Rahman, M.A. Dekan Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, dalam sambutannya menyatakan bahwa sudah tepat bila kita memanfaatkan hari ini dengan kegiatan positif, yaitu bedah buku.
Rahman menjelaskan bahwa Majid Fakhry adalah tokoh dalam filsafat Islam. Bahkan, karya Fakhry lainnya yang berjudul A History of Islamic Philosophy menjadi salah satu buku wajib mahasiswa Akidah-Filsafat.
Acara yang berlokasi di Gedung Teater Lt. 4 Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta ini dihadiri hampir 200 orang, dari kalangan mahasiswa, civitas dan pejabat UIN Jakarta, maupun dari kalangan umum. Acara ini menghadirkan Drs. Nanang Tahqiq M.A. dan Dr. Kholid al-Walid M.A. Keduanya terbilang pemateri otoritatif dan kompeten untuk mendiskusikan dan membedah karya Majid Fakhry ini.
Drs. Nanang Tahqiq, M.A.. pemateri pertama bedah buku ini yang merupakan dosen filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, senada dengan Dekan dan menganggap bahwa buku ini benar-benar buku filsafat Islam. Majid Fakhry dikenal sebagai sejarawan filsafat Islam, ia terampil untuk memetakan pemikiran Ibn Rusyd.
Karya ini berbeda dengan karya Fakhry sebelumnya, A History of Islamic Philosophy, yang kendati memuat pemaparan filsafat dan kalam, tetapi cenderung diulas dari aspek historis. Buku ini berbeda dan menurutnya karya ini adalah karya filsafat Islam.
Bagi Nanang, Sadra Press—penerbit buku Fakhry ini–memiliki banyak penerjemah bagus dan dia berharap semoga ke depan Sadra Press terus menerjemahkan karya-karya filsafat Islam. Begitu pula dengan terjemahan karya Majid Fakhry ini ternilai sangat baik, dapat dimengerti, dan karena itu perlu diapresiasi.
Namun, tak hanya memuji, Nanang juga memberikan kritik atas buku ini. Pertama, dari segi judul, menurutnya, kurang tepat penggunaan “Lentera Dua Peradaban”. Pasalnya, Ibn Rusyd awalnya diterima di Barat terlebih dahulu baru kemudian di dunia Islam. Ia diterima oleh dua peradaban pada abad ke-19, bukan ketika ia hidup atau tak lama setelah ia meninggal. Kedua, dari segi transliterasi, beberapa istilah dalam buku ini tidak konsisten dalam menggunakan transliterasi. Ketiga, ada kesalahan dalam penulisan karya Aristoteles yang berjudul Organon, dalam buku ditulis Orpanon [kendati memang setelah dicek dalam naskah asli Majid Fakhry memang ditulis Orpanon].
Sementara itu, menurut ketua STFI Sadra, Kholid al-Walid, filsafat Barat berhutang besar pada Ibn Rusyd. Hutang paling besar adalah penerjemahan karya Aristoteles dari bahasa Yunani ke bahasa Arab. Ibn Rusyd adalah penerjemah utama karya Aristototeles. Tak ada penerjemah karya Yunani yang melebihi kualitas terjemahan Ibn Rusyd. Kholid pun tak sependapat dengan Nanang terkait judul “Lentera Dua Peradaban” yang menurutnya sudah tepat.
Ibn Rusyd, kata Kholid, adalah orang yang paling luar biasa dalam menjawab Tahāfut al-Falāsifah (Kerancuan Para Filsuf)-nya al-Ghazali. Kendatipun memang, sayangnya karya bantahan Ibn Rusyd, Tahāfut al-Tahāfut, ditulis sekitar tujuh puluh tahun setelahnya. Dalam bukunya itu, al-Ghazali menyerang filsafat secara membabi buta. Hal ini bisa dilihat dari isi bukunya yang menyatakan “Kalau ada orang yang bertanya apa yang harus dilakukan terhadap orang yang berfilsafat, maka bunuhlah ia.” Kholid kemudian menggarisbawahi bahwa memang al-Ghazali menulis Tahāfut al-Falāsifah ketika ia belum menjadi Sufi; yakni ketika pengetahuan dan pengalamannya belum sepenuhnya bijak. Para filosof pun, menurutnya, tidak terlalu memperhatikan karya Ghazali ini lantaran dianggap ‘kekanak-kanakan’.
Ibn Rusyd sebagaimana penjelasan Fakhry adalah titik sentral dari transformasi dunia filsafat [di Timur] ke dunia Barat. Ibn Rusyd mengkritik teori emanasi yang dikenalkan oleh filsuf Peripatetik. Dalam kaidah filsafat disebutkan, al-wāhid lā yashdhuru ‘anhu illā al-wāhid (yang tunggal tidak akan menghasilkan kecuali ketunggalan juga). Artinya, wājib al-wujūd (wujud-niscaya-ada yang dalam konteks agama disebut Tuhan) adalah kemutlakan ketunggalan.
Dan karena ia mutlak, maka mustahil ia menghasilkan sesuatu yang plural. Sebab, jika ia menghasilkan sesuatu yang plural, maka ia juga plural. Padahal ia adalah ketunggalan mutlak. Hal ini sesuai dengan kaidah bahwa “sebab pasti memilki apa yang dimiliki akibat”. Karena, sebab itu lebih utama dari akibat, dan tidaklah mungkin sesuatu yang tidak memiliki sesuatu akan memberikan sesuatu, sebagaimana kaidah lain menyebutkan fāqid al-syay’ lā yu‘thi al-syay’ (yang tak punya tak akan memberi). Dengan demikian, kalau akibatnya plural, maka pluralitas pasti ada pada sebab. Kondisi semacam ini menyebabkan ijtimā‘ al-naqhidayn (berkumpulnya dua hal yang kontradisi), bahwa wājib al-wujūd pada saat yang sama tunggal sekaligus plural. Bagi Ibn Rusyd, ini mustahil.
Kholid selanjutnya menjelaskan bahwa teori gerak Ibn Rusyd berjasa pada pemikiran Mulla sadra. Teori gerak Ibn Rusyd mengandaikan bahwa gerak adalah perubahan dari potensialitas menuju aktualitas. Sehingga, bagi filsuf Andalusia ini, gerak bukan hanya perpindahan. Gerak bukan hanya pindah dalam konteks tempat, melainkan juga dalam konteks berkembang. Pemaparan ini, menurutnya, dapat ditemukan dalam kitab al-Kawn wa al-Fasād-nya Ibn Rusyd.
Sebagai penutup, moderator acara ini, Ali Zainal Abidin, menyatakan bahwa Ibn Rusyd adalah seorang yang memiliki kecakapan enskilopedis. Ia bukan hanya ahli filsafat dan teologi, tapi juga ahli dalam bidang fikih, fisika, astronomi, dan kedokteran. Beberapa sejarawan filsafat menyebutnya sebagai pemikir ensiklopedis dan sebagai penafsir otoritatif pemikiran Aristoteles. Menurutnya, karena begitu dominannya pengaruh Ibn Rusyd, hingga di Barat berkembang Averroisme. Dan karena begitu dominannya mazhab ini, peneliti-peneliti filsafat di Barat ‘melupakan’ bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak berhenti di Ibn Rusyd, malah ia berlanjut dan dikembangkan oleh filosof-filosof setelahnya, dan yang terbesar di antaranya adalah Mulla Sadra.