Teori Pendidikan Islam: Tinjauan Qur’ani dan Filosofis

Penulis: Lisyati | Editor: Imandega

Sadra International Institute bekerja sama dengan STAI Sadra menyambut kedatangan Ibu Negara Republik Islam Iran pada 23 Mei 2023. Tepat di hari pertama lawatan/kunjungan kenegaraan Presiden Iran, Seyyed Ibrahim Raisi, ke Indonesia, Dr. Jamileh Alamolhoda selaku Ibu Negara Iran berkenan me-launching karyanya tersebut. Buku ini diterjemahkan dari bahasa Persia ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Teori Pendidikan Islam: Tinjauan Qur’ani dan Filosofis”. Buku ini diterjemahkan oleh M. Syamsul Arif, Fakhrudin Muchtar, dan Lisyati, dan disunting oleh Ammar Fauzi, Ph.D. Acara penyambutan dan launching ini dilaksanakan di Auditorium Al-Mustafa STAI Sadra.

Acara ini diawali dengan sambutan Dr. Hossein Mottaghi selaku Direktur Al-Mustafa Perwakilan Indonesia dan sambutan Dr. Kholid Al-Walid selaku Ketua STAI Sadra.

Dalam acara yang dilangsungkan secara hybrid ini, Dr. Jamileh Alamolhoda menyampaikan kesan dan pesannya kepada audiens dengan sangat antusias. Ini adalah cuplikan dari sambutan beliau sebagai penulis buku “Teori Pendidikan Islam” di Jakarta:

22 tahun lalu, saat itu tahun 2000-an, seorang Profesor dari Amerika menyampaikan sebuah ceramah di salah satu kampus di Tehran (ibu kota Iran). Saat itu saya tengah menulis tesis master saya terkait “Sekulerisme Pendidikan: Studi Komparasi Antara Maulana (Jalal al-Din Rumi) dan Filsuf Eksistensialisme Perancis (tidak disebut namanya). Saat itu Saya menyampaikan pada beliau, bahwa kajian filsafat dan pendidikan yang saya teliti terkait dengan aliran-aliran filsafat seperti positivisme, eksistensialisme, dan lain-lain. Positivisme adalah aliran filsafat yang cukup dominan dalam Filsafat Barat dan hal ini cukup memengaruhi cara pandang keilmuan terutama pada dunia Pendidikan. Lalu saya mengajukan pertanyaan pada Profesor dari Amerika tersebut. Di sela ceramah beliau, saya bertanya “Adakah referensi pendukung lain yang bisa saya rujuk dalam penelitian saya ini?” Dengan cukup mengejutkan, Profesor Amerika itu mengatakan, “Silakan Anda baca buku yang ditulis oleh Imam Khomeini di halaman 48… dari bukunya yang berjudul…”

Saya yang mendengar jawaban Profesor itu tertegun sejenak dan memikirkan jawaban tersebut. Buku yang ditulis Imam Khomeini? Memang saya sangat mencintai sosok Imam Khomeini, namun saya tidak pernah berpikir bahwa beliau mempunyai karya dan tindakan yang bernilai filosofis. Pernyataan dari Guru Besar Amerika itu mengesankan bagi saya dan menginspirasi saya. Semenjak itu, saya mencari tulisan-tulisan Imam Khomeini dan saya menulis juga topik terkait dengan pendidikan Islam dalam perspektif Imam Khomeini. Juga beberapa makalah lain yang saya gali dari teori-teori Islam. Lebih jauh bila kita telusuri kembali, maka pemikiran hikmah kebijaksanaannya (termasuk Imam Khomeini, Allamah Thabathaba’i, dan Murtadha Muthahhari) bersumber kepada hikmah puncak/transendental dari filsafat hikmah Mulla Sadra, filsuf Islam mutakhir, yang pemikirannya mengilhami pemikiran Iran saat ini.

“Akal adalah Nabi Batin”

Tradisi pemikiran filsafat Islam adalah tradisi yang menghargai rasionalitas. Akal diibaratkan seperti nabi, namun ia nabi batin. Akal kita adalah nabi batin kita. Sementara nabi lahir adalah para nabi dan rasul yang dalam kisah-kisah diceritakan. Banyak dari mereka yang dibunuh, bahkan oleh pengikutnya sendiri – tragis. Saat ini para ‘nabi lahir’ tidak diturunkan dan tidak hadir ditengah-tengah kita. Akan tetapi, nabi lain (nabi batin) selalu ada dan menetap dalam diri kita. Jika nabi batin itu dibunuh, maka “akal rasional” terbunuh. Kita tidak boleh membunuh nabi yang ada dalam diri kita itu, sebab kehidupan manusia memerlukannya. Saya berkesimpulan kita harus menggunakan rasionalitas dalam kehidupan baik agama atau pengetahuan saat ini, sebab rasionalitas akan menyelamatkan kita, umat Islam, dari modernitas.

Rasionalitas itu ada dalam tradisi hikmah, yakni filsafat Islam. Pertanyaannya, mengapa negara-negara Barat, seperti Amerika, misalnya, tidak mendapatkan karunia hikmah (filsafat Islam) ini? Hal itu disebabkan akibat dari kesombongan mereka sendiri, dan mereka tidak mau memerhatikan filsafat Islam. Sangat ironis, mereka mengakui bahkan mengagungkan sosok seperti Avicena (Ibnu Sina), tetapi hanya dari ilmu kedokterannya saja, dan mengabaikan pemikiran filsafatnya. Mereka menyangka jika filsafat Islam hanya kelanjutan dari filsafat Yunani, Persia, dan filsafat Timur lainnya. Sungguh apabila mereka mau membaca berbagai tulisan para filsuf muslim dengan baik dan teliti, mereka akan tahu betapa bodoh dan jauhnya mereka dari anggapan itu. Filsafat Islam yang ditulis oleh para filsuf muslim kontemporer khususnya, mereka banyak mendalaminya dari al Qur’an. Mereka banyak mendapatkan inspirasi dan berbagai ajaran dari filsafat lain.  Akan tetapi, mereka mampu menyempurnakannya. Apa yang sudah mereka dapatkan dari Filsafat Yunani, India, dan Iran kuno misalnya, mereka sempurnakan kembali dengan menggunakan rasionalitas Islam. Para filsuf muslim ini laksana madu yang hanya ingin mengambil intisari dari sesuatu yang baik dan berharga dari berbagai sumber yang baik seperti lebah yang hanya menghasilkan madu yang dinikmati kelezatannya.

Para filsuf muslim mengambil berbagai ajaran filsafat yang disempurnakan dengan rasionalitas dalam Islam. Sementara para filsuf ateis (Barat) tidak mampu, bahkan tidak mampu menguatkan keyakinan agama mereka sendiri dengan rasionalitas yang mereka miliki. Mereka itu ibarat ‘lalat’ yang hinggap di sembarang tempat dan tidak bisa menghasilkan madu, yang hanya menebar mikroba berbahaya. Mereka tidak mampu memberi sumbangsih yang berguna, namun justru menjauhkan darinya dan orang lain dari keyakinan akan agama. Padahal, agama mampu mencakup berbagai dimensi kehidupan, termasuk ilmu pengetahuan dan bidang pendidikan yang sedang kita bincangkan.

Menurut saya, perkembangan ilmu-ilmu modern saat ini hanyalah sebatas pengembangan berbagai skill praktis ataupun logika semata. Ilmu-ilmu yang berkembang banyak dipengaruhi oleh pemikiran psikologi dan antropologi yang hanya menguatkan pemikiran humanisme belaka. Sehingga hasilnya, manusia beranggapan kebahagiaan materi adalah factor utama kebahagiaan manusia. Manusia yang mengejar kebahagiaan materi terjebak pada materialisme. Paham materialisme membuat manusia turun pada derajat yang rendah. Pandangan materialisme seperti ini menjadikan pelaku kehidupan – manusia – ini di posisi yang sangat rendah. Akibatnya, manusia hanya ‘condong ke bawah’ (alam materi), dan ia tidak mampu berdiri tegak hingga membuatnya frustasi karena hidup dalam kesempitan dunia. Kehidupan yang dihasilkan adalah kehidupan tanpa etika dan tujuan hidup, tanpa visi dan berakhlak buruk.

Hasilnya, perhatikanlah output pendidikan, sebut saja alumni perguruan tinggi, banyak dari mereka yang menegasikan nilai-nilai pendidikan. Perilakunya tak ubahnya seperti masyarakat awam. Apa yang mereka harapkan atau visi hidupnya sangatlah pendek. Mereka tak mampu mencari makna kehidupan yang lebih luas dan dalam. Mengatur Kehidupan tanpa visi artinya tidak memiliki tujuan hidup yang panjang dan jauh ke depan (akhirat). Oleh karenanya, keputusasaan menghantui kehidupan seperti ini. Mereka ingin lari dari kondisinya itu. Mereka bahkan menjulurkan tangannya kepada agama, atau mungkin nilai-nilai lain di luar Islam. Maka saat inilah spiritualitas yang rasional dibutuhkan, bukan hanya spiritualitas yang sekadar emosi atau perasaan semata.

Menurut saya, di sinilah letak signifikansi dari pemikiran yang saya usung. Bagi bangsa Indonesia yang mempunyai potensi sangat besar, saya merasa yakin Indonesia akan mampu mengembangkan potensi ini dengan baik bagi masyarakatnya. Saya yakin, di indonesia banyak para pakar dan ahli pendidikan yang sudah seharusnya dapat menggali dan mengembangkan potensi pemikiran yang ada. Seperti yang kita semua lakukan saat ini, salah satunya yang saya dapatkan dari filsafat Mulla Sadra, di mana beliau memperkuat kembali pandangannya dengan al Qur’an. Saya juga berharap beberapa tafsir seperti tafsir al-Mizan atau Tasnim dapat diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, karena dari tafsir ini akan tampak warna kental filsafat Islam. Saya juga telah menulis buku kedua dan ketiga sebagai kelanjutan dari Teori Pendidikan Islam yang saat ini sedang kita launching. Pada jilid kedua dan ketiga dijelaskan lebih detai tentang manusia dan perkembangannya. Saya berharap buku ini pun akan memperkaya khazanah buku-buku pendidikan Islam kita. Amin. Tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada para penerjemah, editor, dan penerbit, juga kepada Direktur al-Mustafa Indonesia, Dr. Sayid Hossein Mottaghi, atas semua kerja kerasnya.

Demikian sambutan Dr. Jamileh Alamolhoda pada acara launching buku karyanya tersebut. Begitu inspiratif mengingat Dr. Jamileh merupakan seorang perempuan, ibu negara, dan juga cendikiawan Islam yang telah menulis beberapa karya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *