Hadi Kharisman
Karya Syeikh Jawadi Amuli ini, Islam dan Lingkungan Hidup, mengetengahkan keluasan pandangan beliau dalam memahami pesan-pesan Islam dalam kaitannya dengan lingkungan. Beliau tidak hanya memahami pesan-pesan suci Islam terkait masalah lingkungan dari sisi yang tersurat namun juga menangkap yang tersirat, implisit. Beliau memperlihatkan Islam sebagai sebuah pandangan dunia yang holistik, di mana satu hal dan yang lain saling terkait dan mempengaruhi. Dalam menjelaskan ayat-ayat dan hadis-hadis terkait lingkungan, beliau tidak hanya berhenti untuk melihat sisi normatif-teologis (doktrinal agama: al-Quran, dan hadis), namun juga menjabarkan ranah normatif-religius tersebut dalam skema filosofis (menggunakan telaah filsafat), memperlihatkan dimensi spiritual, moral, sosial sampai ke politik, termasuk memberi langkah-langkah pendekatan hermeneutis agar masyarakat Muslim dapat memasukkan temuan dari perkembangan saintifik dalam pertimbangan-pertimbangan keagamaan menyangkut hal-hal beik yang bersifat kealaman (natural) maupun kemanusiaan (sosial), termasuk terkait kelestarian lingkungan dan tanggung jawab umat atasnya secara individual maupun sosial.
Syeikh Jawadi Amuli melakukan analisa atas doktrin-doktrin agama, al-Quran, dan hadis atau doktrin-doktrin keislaman yang bernuansa lingkungan, sebagai fondasi. Dari tinjauan Qurani, beliau menarik garis kontinyu ke persoalan yang lebih luas, masalah filsafat, ontologi, (hakikat kenyataan alam dan manusia), epistemologi (metode menafsirkan al-Quran dalam rangka mengintegrasikan disiplin sekuler ke disiplin keagamaan, sampai motivasi agama untuk mendukung pengembangan sains dan teknologi), persoalan hukum, kebijakan publik, pranata sosial, sampai ke agenda politik, termasuk seperti apa pemerintahan Islami dalam kaitannya dengan lingkungan sampai ke menyorot kebobrokan dari dominasi imperialisme terselubung dalam kontestasi politik global yang bersifat satanik (dominasi yang mendistorsi manusia dari fitrahnya) dan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan.
Jadi secara umum, buku ini menunjukkan bahwa pandangan Islam akan lingkungan hidup sebenarnya bersifat multidimensi namun terpadu (integratif). Dalam buku ini, lingkungan dilihat dari pandangan dunia Islam yang cenderung menawarkan pendekatan multidimensi yang saling terintegrasi. Pandangan Islam didasarkan kepada realisme, bahwa kebenararan bukan sebatas hasil pemikiran namun berbasis kenyataan, dan kenyataan adalah dasar dari nilai-nilai kebenaran. Dalam terma Qurani, terma kebenaran (al-Haqq) seakar kata dengan kata kenyataan (haqiqah). Dengan demikian pengetahuan dalam Islam yang dianggap benar adalah sejauh pengetahuan di mana informasi dan pernyataan-pernyataan yang digunakan mengungkapkan dan sejalan dengan prinsip-prinsip kenyataan.
Namun, realisme Islam tidak sama dengan realisme yang diperkenalkan dalam pandangan modern Barat yang bersifat reduksionistik. Realisme Barat modern mengikis kenyataan sebatas fakta empirik dan menafikan kenyataan maknawi dan spiritual yang non-empirik. Setiap entitas alam hanya sebatas kenyataan lahiriyah sehingga tidak memiliki nilai intrinsik. Nilai alam disesakkan dari luar, hanya bermakna ketika ia dapat dimanfaatkan oleh manusia. Karenanya, alam lebih dipandang hanya sebagai komoditi, instrumen ragawi bagi pemenuhan kebutuhan manusia, entitas tak bernyawa yang hanya bernilai ekonomis sehingga sebatas menjadi objek untuk dieksploitasi.
Realisme Islam melihat mengakui kebenaran berbasis kenyataan, dan kenyataan ini hadir dalam beragam bentuk dan tingkat. Kenyataan ini dapat berupa manusia, hewan, tanaman, gunung, jin apapun tingkatnya, lahir maupun batin, material maupun spiritual-intelektual, ataupun tingkat di antara keduanya yaitu imajinal, dan seluruhnya tercipta dan tak terpisahkan dari (tercakup oleh, memancarkan) kenyataan tunggal yang paling sejati yang mendasari seluruh keberadaan: Sang Ada, Tuhan. Karenanya setiap bagian dan setiap tingkat alamnya manunggal, berjalan dalam fitrah keselarasan yang tunggal dengan bagian yang lain. Demikian pula semua entitas semesta, apapun itu bukan sebatas fakta per se, namun fakta yang mengandung makna, mempresentasikan kenyataan bertingkat yang berujung pada Tuhan. Semua entitas memiliki nilai intrinsik sebagai pertanda-pertanda ilahi (ayatullah) sehingga dalam potensinya masing-masing memancarkan kesakralan, nafas dan kebermaknaan Ilahi.
Karenanya, alam menjadi realitas yang wajib dihormati. Alam tidak hanya dilihat dan diperlakukan sebatas kenyataan mekanistik, sebagai benda semata, namun diperlakukan sebagai entitas multidimensi yang suci. Alam menjadi guru yang membawa ilmu. Alam menjadi bahan renungan dan sumber memetik makna dan pesan-pesan yang bersifat Ilahi.
Manusia, sebagai makhluk yang memiliki potensi menjadi wakil (khalifah) Allah, memiliki struktur diri yang multidimensi, lahir-batin, fisik-ruhani, individual-relasional (sosial & environmental). Karena itu, tindakan manusia memperlakukan alam semestinya dilakukan penuh kesadaran dan tanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan keselarasan dari seluruh dimensinya yang bineka namun tunggal (sepadu): material maupun spiritualnya, parsial maupun relasionalnya (keterjalinannya dengan bagian alam lainnya).
Karena itulah Islam menekankan pendekatan multidimensi atas persoalan lingkungan, tidak hanya mencukupkan diri dalam masalah teknis-mekanistis saja, namun juga dalam kaitannya dengan wawasan yang lebih spiritual, bahkan pendekatan yang juga bernuasa sosial. Ia pun tidak sebatas mewartakan pentingnya wawasan spiritual, melihat manusia dan alam saling terhubung dalam ikatan kosmik yang tak terpisahkan dan saling mempengaruhi, bahwa alam memiliki nilai intrinsik yang harus dihargai, sebagaimana dikemukakan oleh deep ecology movement. Ia tidak menyepelekan pentingnya solusi teknis, sebagaimana yang ditawarkan shallow ecology movement. Ia pun tidak mengerdilkan pentingnya corak struktur dan sistem sosial yang adil dalam penyelenggaraan kebijakan-kebijakan publik yang ramah lingkungan, seperti diacu oleh social ecology movement. Aliran ekologi Islam, atau ekologi Qurani, semestinya mengafirmasi dan mengakomodasi semua aspek kenyataan yang berdampak terhadap peristiwa alam dan sosial, baik yang bersifat individual maupun sosial, yang bersifat langsung maupun tak langsung, yang dianggap profan maupun sakral, yang bersifat teknis maupun metafisis-spiritual, dalam kesepaduan, dalam wawasan yang mesti tidak saling menafikan seperti difahami oleh aliran-aliran ekologi lainnya. Ekologi Islami semestinya memadukan pandangan spiritualitas, teologis, teknis dan saintifik dalam kaitannya dengan tanggung jawab moral individual dan kewajiban institusional yang bersifat sosial dan politik, sejauh hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Demikianlah menjadi difahami, mengapa dalam membahas pandangan Islam dan lingkungan hidup, Syeikh Jawadi Amuli, dengan berpijak pada pandangan Qurani, mengupasnya dari spektrum yang luas, baik dari aspek teologis, etis/moral, dan spiritual dan sosial-politik dalam benang merah yang menghubungkan dengan tugas dan tanggung jawab manusia yang berpotensi mewakili Pencipta yang Esa menata alam dalam kemanunggalan dan keselarasan. Sebagai makhluk yang memiliki potensi sebagai khalifatullah, wakil Allah, manusia semestinya memanfaatkan fungsi-fungsi berbagai bagian dari kenyataan, lahir dan batin, mekanis dan spiritual, sebagai individu maupun bagian inheren dari jalinan kemanusiaan (sosial) dan alam secara keselurunan (kosmis) secara proporsional sembari menjaga kelestarian dan fitrah keselarasan di antara semua bagian tersebut.
Karena itu, tindakan-tindakan improporsional dari cara berfikir sekularistik yang mereduksi kenyataan pada aspek tertentu dan menafikan aspek lainnya merupakan tindakan satanik. Wawasan sekularistik melihat alam dengan mata dajalik, mata reduktif dan parsial: hanya sebagai fenomena benda tanpa nilai intrinsik. Alam dinilai dalam kacamata ekonomi semata alih-alih maknawi. Alam dipandang sebagai realitas fisik tanpa menyadari sisi ruhaninya. Alam diperlakukan sebagai entitas profan, dilepaskan dari jubah sakralnya sebagai tanda-tanda yang mewartakan pesan Ilahi, kitab kehidupan yang layak diperlakukan secara terhormat dan penuh adab. Kacamata sekularisme mengamini dorongan iblis untuk mendistorsi kenyataan dari kesejatian (basis kenyataan, kodrat penciptaan) alam (QS. 4:114) yang sepadu, selaras, harmonis, dalam keutuhan, sehingga menyebabkan merusak keseimbangan dan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak pada krisis lingkungan.
Demikian pula pandangan umum Barat modern yang memungkinkan sikap eksploitatif adalah tindakan sanatik. Pandangan dunia barat modern mendistorsi pemahaman akan isti’mar, tuntutan moral manusia sebagai pemakmur bumi, untuk mengelola alam secara proporsional sembari menjaga kelestarian dan kesuciannya, menjadi penguasa. Dalam terma kekuasaan, manusia adalah pengontrol, penunduk dan penakluk alam sehingga alam diperlakukan secara eksploitatif. Hubungan manusia dengan alam tidak dilihat sebagai hubungan yang mesra, namun hubungan dominasi dan pemaksaan, memilih menundukkan atau menjadi yang ditundukkan. Tindakan ini tidak selaras dengan kenyataan dan fitrah alam yang harmoni dan fitrah manusia yang memiliki potensi kesepaduan berbagai tatanan kenyataan dalam dirinya.
Begitu pula sistem sosial dan politik yang tidak adil, westerncentrical¸ imperialistik dan kapitalistik pun merupakan sistem politik yang satanik karena mendistorsi fitrah kehidupan yang suci dan berjalan dalam harmoni. Sistem imperialistik didasarkan kepada arogansi komunal yang menciptakan hubungan antar manusia yang dominatif, menekankan persaingan dan pertarungan dalam opsi hubungan menguasai-dikuasi, afirmasi-negasi, kontrol suatu bangsa atas manusia dan sumber daya alam dari bangsa lain. Sistem ini menafikan adanya sifat eksistensial dari relasi sosial (apalagi relasi kosmis) kecuali sebatas transaksional, sebatas demi memelihara kepentingan pribadi atau komunal. Hubungan semacam ini merupakan hubungan yang tidak memiliki nilai intrinsik dan hanya dihargai sejauh menjaga kepentingan masing-masing pihak tetap terjaga, namun tetap melanggengkan hasrat untuk saling mengontrol, menundukkan, menguasai dan menjerat pihak yang lain jika dimungkinkan. Standar ganda yang sering digunakan negara-negara imperialistik dalam mengukur kebijakan mereka dan kebijakan negara lain adalah bentuk dari ketidakadilan dan distorsi dari harmoni antar sesama manusia maupun antara manusia dengan sumber daya alamnya. Kapitalisme adalah idiologi sosial yang satanik. Kapitalisme adalah sistem yang meniscayakan eksploitasi alih-alih preservasi, destruksi alih-alih terjaga dan terbangunnya rantai harmoni, dominasi alih-alih peduli, baik atas sesama manusia maupun atas sumber daya alam sehingga menciptakan krisis lingkungan.
Masyarakat Iran menyadari betul persoalan lingkungan di negara-negara Muslim dan negara-negara berkembang bukan hanya merupakan masalah kesadaran religius yang tidak dewasa, religiusitas yang berorientasi pada sebatas kesalehan personal dan ritual alih-alih kesalehan environtental, namun juga masalah sistem jalinan politik global yang dihantui oleh cengkraman kapitalisme dan imperialisme terselubung. Dalam sebuah forum di Qum pada tahun 2001, Ayatullah Musawi Ardebili berkata kepada Richard C. Foltz, salah satu peneliti masalah lingkungan di dunia Islam bahwa alasan mengapa pabrik-pabrik di Iran saat itu memiliki tingkat pencemaran yang tinggi bukanlah karena kurangnya perhatian pemerintah Iran akan masalah lingkungan namun karena adanya embargo Amerika terhadap pertumbuhan ekonomi Iran, termasuk menghambat Iran untuk membeli teknologi ramah lingkungan dan hanya dibiarkan dengan perangkat-perangkat yang telah usang (dan hal ini semakin disoroti seiring wafatnya presiden Iran alm. Ibrahim Raisi dalam kecelakaan 19 Mei 2024 di mana helikopter yang beliau gunakan dan mengalami kecelakaan adalah helikopter yang sangat usang).
Saya tidak sependapat dengan Foltz bahwa pernyataan Ayatullah Musawi tersebut adalah bentuk jawaban romantis. Iran, negara di mana Syeikh Jawadi Amuli hidup, telah melakukan upaya nyata dalam memperhatikan lingkungan. Bahkan diakui Foltz sendiri, jauh lebih baik dari relasi pemerintah dan NGO lingkungan di negara-negara seperti Amerika, pemerintah Iran menghargai kritik-kritik lembaga-lembaga lingkungan dan berhubungan baik dengan mereka, bahkan memfasilitasi keberadaan mereka. Tidak ada kriminalisasi dan dugaan anti-pemerintah atau tuduhan ekstrimisme kepada NGO-NGO lingkungan oleh pemerintah Iran seperti yang terjadi di beberapa negara Barat. Namun upaya-upaya membentuk kesalehan sekaligus membentuk wawasan pemerintahan yang ramah lingkungan, seperti diupayakan Syeikh jawadi Amuli, akan tetap terhambat ketika sebuah bangsa dimiskinkan, dihalangi untuk berkembang. Demikian pula bangsanya akan semakin terancam oleh dominasi negara lain yang sengaja merongrong dan memiliki kepentingan di negara tersebut ketika negara tersebut tidak berusaha untuk semakin mandiri dan mengejar ketertinggalan ekonominya dengan sumber-sumber daya yang ada. Iran seolah dihadapkan pada dilema, membiarkan diri terpuruk sehingga menjadi bangsa lemah yang siap diatur kekuatan lain yang sudah jelas memiliki kepentingan mempengaruhi masyarakat dan menguasai sumber daya alam mereka, atau terpaksa, suka atau tidak suka, menjaga agar negaranya mampu maju dan mandiri dengan kekuatan yang ada, termasuk teknologi usang yang kurang ramah lingkungan sampai mereka menemukan solusi terbaik untuk menjaga kedaulatan, kemandirian dan keamanan negaranya dari potensi dikuasai oleh negara-negara sekuler adidaya di Barat yang memahami relasi sosial-politik sebagai relasi berbasis keuntungan, kepentingan, menyembunyikan arogansi satanik, sebatas ikatan profan yang tak bernilai intrinsik, dan bukan relasi fitrah yang seharusnya dihormati dalam kerendahan hati masing-masing pihak dan dinjunjung tinggi sebagai sebuah ikatan sakral, bernilai moral, dalam pengawasan Ilahi yang Maha Adil, mencintai keadilan, membenci arogansi, dan Maha Mengetahui.
Menurut Syeikh jawadi Amuli, semua distorsi-distorsi tersebut dilakukan manusia tidak lepas dari akar dari bagaimana manusia, para pelaku pengrusakan lingkungan, memahami keberadaan, makna dan arti kehadirannya di dunia. Syeikh menunjukkan bahwa kesejatian manusia dalam ajaran al-Quran (QS. 20:50) setidaknya terdiri dari tiga komponen tatanan ontologis: tatanan akar ilahiyah (sebab efisien), tatanan internal yang memadukan aspek jasmani-ruhani (QS.38:71-72), dan tantanan tujuan (sebab final/teleologis). Ketiga tatanan ini–sebab efisien (siapa mengjadikannya ada), tatanan internal (realitas seperti apa sejatinya keberadaan dirinya) dan sebab final/teleologis (apa tugas, alasan dan tujuan mengapa ia dihadirkan di dunia yang sementara ini)—adalah tiga komponen konstitutif keberadaan manusia. Artinya, ketiganya hadir dalam diri manusia. Mereka yang memperlakukan alam secara profan –seolah Tuhan tidak hadir dalam dirinya, sebagai objek pemenuhan hasrat-hasrat ragawinya, seolah dirinya sebatas raga, dan demi tujuan jangka pendek dan egoistik atau komunal, seolah dirinya bukan bagian dari jalinan kebermaknaan kreatifitas Tuhan yang luas dan abadi—tidaklah mengenal dirinya. Jika ia tidak dapat menyadari kehadiran Tuhan dan kebermaknaan pada dirinya, bagaimana ia menyadari hal-hal tersebut pada entitas di luar dirinya? Jika ia tidak menyadari adanya tujuan di balik keberadaannya, lalu bagaimana ia dapat menyadari dan menyelaraskan diri dengan kebertujuan gerak semesta? Jika itu terjadi, bagaimena kelestarian dan harmoni lingkungan dapat terjaga? Maka tergerusnya pemahaman diri merupakan akar dari segala persoalan tindakan manusia, termasuk yang berdampak pada krisis lingkungan.
Pemahaman akan diri ini tidak lepas dari jati diri ini manusia terdiri dari kompenen keilahian, keselarasan unsur-unsur jasmani-ruhani dan kebertujuan, maka ketiganya merupakan hal intrinsik pada manusia. Oleh karena itu sudah seharusnya manusia menyadari hal tersebut. Kesadaran ini diperoleh terutama bukan melalui konseptualisasi melainkan melalui modus pengetahuan-diri yang langsung, pra-konseptual yang dalam terma filsafat Islam disebut ilmu hudhuri. Modus pengetahuan ini pun dikenal dalam kearifan para leluhur di Nusantara sebagai pengetahuan rasa, ilmu eling lan waspada (bukan emut atau ingat dalam pengertian memori kognitif namun ontologis), yang dicapai dengan cara mengasah kesadaran untuk memperhatikan diri dari dalam, yang dikenal sebagai modus ngariksa-diri dan atau aji-diri.
Saat manusia memahami dirinya, ia memahami kehandak Ilahi yang hadir dan tujuan abadi keberadaan, tidak lagi bersikap sebagai diri namun bersikap sebagai, meminjam istilah kearifan Nusantara, kawula (abdi) Gusti. Dia bertindak tidak untuk memenuhi keinginan personal dan egoistiknya, namun hanya sebatas mewakili. Dalam hubungan mewakili-diwakili, tidak ada dualitas kepentingan yang saling bersaing, hanya ada kepentingan yang tunggal, yaitu kepentingan sang Gusti, bukan sebaliknya sehingga kaluwa tidak menggustikan diri, merebut hak Gusti karena egoisme diri, namun diri mengawula Gusti, diri selayaknya mempersilahkan segala sesuatunya berdasarkan dan demi sang Gusti. Relasi kemanunggalan Kawula Gusti ini selaras dengan penjelasan Syeikh Jawadi Amuli tentang khalifah Ilahi, di mana:
“seorang wakil atau utusan yang layak, semestinya mengikuti sang Raja dalam seluruh perkara praktis maupun teoritis: mempersepsi seiring persepsi Sang Raja, berkehendak sejalan dengan kehendak sang Raja. Mengklaim diri sebagai khalifah Ilahi tanpa adanya kesejalanan dalam persepsi dan kehendak Tuhan, sama saja dengan mengklaim diri menjadi wakil satu otoritas pada saat ia sebenarnya tunduk pada otoritas yang lain. ‘Pernahkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?’ (QS.45:23)”
Nah, di sinilah menariknya. Syeikh Jawadi Amuli membahas begitu banyak dimensi bagaimana lingkungan ditinjau dari perspektif Qurani: bagaimana ramahnya perintah agama terkait pemanfaatan lingkungan yang Islami versus non-Islami (eksploitatif-kapitalistik), pemaknaan kuasa manusia yang Islami versus non-Islami (imperialistik), tugas pemerintahan Islami versus sekularistik, karakter humanistik dan religius dari persoalan lingkungan, dampak-dampak perilaku manusia, masalah kebaikan dan keburukan (tinjauan al-Quran, aspek absolutifitas dan relatifitas, aspek eksistensial dan moral), relasi perbuatan moral (fisik, psikis, dan spiritual) dan kejadian natural, relasi sosial dan dampak environmentalnya. Namun, sebelum menyuguhkan semua penjelasan atas beragam dimensi tersebut beliau, dengan apik beliau membuka prolognya dengan membahas jati diri (struktur ontologis) manusia dan pentingnya manusia mencapai pemahaman-diri yang sejati, seolah semua takkan pernah tercapai tanpa melalui pintu pemahaman-diri.