Dr. Abdelaziz Abbaci

Ditranskrip dan diedit oleh Imandega M.

Buku Iqtishādunā ditulis oleh seorang ulama besar yang bukan ahli ekonomi secara teknis. Penulisnya, Sayyid Muhammad Baqir al-Ṣadr, adalah seorang fakih, filsuf, dan ulama syariat. Ia memandang ekonomi dari sudut pandang agama dan syariat sebagai seorang muslim. Karya ini ditulis pada dekade 1960-an, masa ketika dunia Islam sedang menghadapi dominasi sosialisme dan komunisme, terutama setelah berakhirnya era kolonialisme Barat yang mengusung ekonomi liberal. Banyak negara Islam saat itu, seperti Irak, Suriah, dan Mesir, mengadopsi sistem sosialisme, bahkan mendekati komunisme. Oleh sebab itu, Baqir al-Ṣadr menulis buku ini sebagai kritik terhadap sosialisme, komunisme, dan materialisme.

Hampir sepertiga bagian dari buku ini secara khusus membahas dan membantah ideologi-ideologi tersebut, bukan ekonomi liberal. Hal ini menunjukkan bahwa karya ini merupakan respon terhadap tantangan zamannya, sebuah tawaran untuk membentuk kerangka konseptual ekonomi dari sudut pandang Islam.

Filsafat Ilmu Ekonomi, Bukan Ekonomi Praktis

Baqir al-Ṣadr secara eksplisit menyatakan bahwa bukunya bukanlah buku ekonomi praktis atau teknis. Oleh karena itu, ia memilih judul Iqtishādunā (Ekonomi Kita), bukan “Ekonomi Islam”. Buku ini adalah tawaran teori tentang ilmu ekonomi dari sudut pandang Islam—dengan kata lain, sebuah karya dalam ranah filsafat ekonomi, bukan teori ekonomi itu sendiri.

Beliau juga tidak menolak pemanfaatan teori-teori ekonomi dari manapun, selama tidak bertentangan dengan prinsip Islam. Bagi beliau, teori yang dikembangkan oleh siapa pun di mana pun tetap bisa bermanfaat dan harus dimanfaatkan sejauh relevan dan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Islamisasi Ilmu: Kritik dan Tawaran Pandangan Baru

Salah satu poin penting di sini berkaitan dengan konsep Islamisasi makrifah—yang juga dikenal sebagai aslamatul ma‘rifah atau Islamisasi ilmu. Konsep ini merupakan bagian dari tren intelektual yang telah diupayakan oleh berbagai institusi di dunia Islam, baik di Malaysia, Indonesia, Mesir, maupun di tempat-tempat lainnya. Terdapat usaha serius untuk mewujudkan proses Islamisasi pengetahuan dalam berbagai bidang keilmuan. Dalam konteks upaya islamisasi ilmu atau aslamat al-ma‘rifah, Baqir al-Ṣadr tampaknya memandangnya tidak cukup relevan. Ia menolak klaim bahwa suatu ilmu menjadi “Islam” hanya karena dikembangkan oleh muslim atau diberi label Islami. Menurut pendekatan filsafat Mullā Ṣadrā dan epistemologi Islam yang diikutinya, semua ilmu pada hakikatnya bersumber dari ‘aql al-fa‘āl (akal aktif), atau dalam bahasa teologis disebut sebagai malaikat. Inspirasi ilmu datang dari “atas”, bukan dari bumi.

Maka menurut Allamah Baqir Sadr, semua teori yang diperoleh oleh manusia di mana pun dia berada itu bisa menjadi milik manusia dan dapat dimanfaatkan oleh semua manusia lepas dari agama, ras, dan sukunya. Jadi dari situ kita tidak dapat mengatribusi ilmu semisal label Islam dalam setiap ilmu seperti ekonomi Islam, kedokteran Islam, dan lain sebagainya.

Menurut Sayyid Baqir al-Sadr, yang perlu diislamkan bukan semata-mata sistem atau teori ekonominya, melainkan lingkungan manusianya—individu-individu dalam masyarakat. Jika tidak ada lingkungan sosial yang bersedia menerapkan kaidah-kaidah ekonomi Islam, maka mustahil terbentuk sistem ekonomi Islam yang sejati. Harus ada masyarakat yang siap menyelesaikan persoalan-persoalan ekonominya secara Islami, secara syar‘i. Barulah kita dapat mengatakan bahwa ekonomi Islam benar-benar diterapkan dalam lingkungan tersebut, dan bahwa teori-teori ekonomi dapat disesuaikan dengan karakter masyarakat Islam.

Misalnya, ketika masyarakat menolak riba dan berbagai praktik yang diharamkan oleh syariat, maka teori-teori ekonomi pun harus disesuaikan dengan konteks tersebut. Dengan cara inilah Iqtishādunā hadir sebagai sebuah respons terhadap tantangan zaman, dan sebagai upaya untuk menjawab persoalan-persoalan ekonomi yang dihadapi umat Islam saat itu.

Membangun Ekonomi Islam: Tugas Kolektif

Ada sejumlah batasan dan tantangan dalam pengembangan ekonomi Islam. Salah satunya adalah kenyataan bahwa hingga hari ini kita belum memiliki teori ekonomi Islam yang lengkap dan menyeluruh—bahkan sejak masa Sayyid Baqir al-Sadr. Beliau sendiri menyatakan bahwa apa yang tengah dibangun saat itu barulah sebatas fondasi dan kerangka mazhab ekonomi, bukan ilmu ekonomi dalam pengertian sistematis dan teknokratis.

Yang dimaksud dengan mazhab ekonomi adalah suatu sistem keyakinan yang bersandar pada syariat dan pandangan dunia Islam. Ia menjadi dasar pijakan dalam menyikapi teori-teori ekonomi modern, dan sekaligus menuntut kehati-hatian dalam mengadopsinya. Artinya, kita belum bisa mengklaim memiliki seperangkat teori ekonomi Islam yang mampu menjawab seluruh persoalan dunia Islam. Pernyataan ini dikemukakan pada era 1960-an hingga 1970-an—dan hari ini, di zaman yang telah berubah secara substansial, tantangannya menjadi jauh lebih kompleks.

Sebagaimana telah disebutkan oleh beberapa pembicara sebelumnya, kita kini hidup dalam era kripto, transaksi virtual, dan mekanisme pasar yang belum pernah ada sebelumnya. Situasi ini menuntut kehadiran teori-teori baru yang dikembangkan oleh para ulama dan ekonom Muslim yang benar-benar memahami kebutuhan umat Islam, memiliki wawasan agama yang kuat, serta menguasai ilmu ekonomi kontemporer secara mendalam. Mereka perlu mempelajari berbagai teori ekonomi global dan menerapkannya secara selektif dalam konteks khas masyarakat mereka—seperti di Indonesia—untuk menjawab persoalan-persoalan lokal secara efektif.

Dengan demikian, peran seorang ulama ekonomi atau pakar ekonomi Muslim adalah menjembatani antara ilmu ekonomi dan syariat Islam, demi mewujudkan kesejahteraan umat baik di dunia maupun akhirat. Peran ini meniscayakan adanya kolaborasi antara para ekonom Muslim, para pemimpin masyarakat, institusi-institusi ekonomi, serta masyarakat itu sendiri. Tanpa keempat elemen ini, ekonomi Islam tidak akan mungkin bisa diterapkan secara utuh dan menyeluruh.

Sayyid Baqir al-Sadr dalam Iqtishādunā menyebutkan bahwa untuk membangun ekonomi yang bernuansa Islam, diperlukan sejumlah syarat. Pertama, adanya sistem pemikiran yang dilandasi oleh iman dan Islam. Islam di sini merujuk pada kepatuhan terhadap syariat secara lahiriah, sementara iman memberikan dimensi batiniah—yakni keyakinan bahwa setiap perbuatan manusia berdampak langsung, tidak hanya di akhirat, tetapi juga dalam kehidupan sekarang. Seorang mukmin tidak akan menjalani transaksi yang haram atau syubhat karena ia menyadari bahwa akibat dari transaksi itu akan ia rasakan di dunia ini juga.

Kedua, penerimaan masyarakat terhadap sistem tersebut. Selain unsur masyrū‘iyyah (keabsahan syariat), diperlukan juga maqbūliyyah (penerimaan sosial). Dalam konteks negara seperti Indonesia, misalnya, meskipun banyak pihak mengakui bahwa Islam membawa solusi bagi manusia, penerapannya tetap bergantung pada sejauh mana masyarakat menerima sistem tersebut. Maka jika hanya sebagian masyarakat yang menerima, pelaksanaannya pun terbatas pada mereka. Tidak bisa dipaksakan secara menyeluruh.

Di sisi lain, perlu dicatat bahwa kritik utama Iqtishādunā diarahkan pada sosialisme, materialisme, dan komunisme—sistem-sistem yang dominan pada masa itu. Karena ekonomi pasar liberal belum menjadi isu sentral saat itu, maka buku ini belum memberikan tanggapan terhadap tantangan ekonomi liberal kontemporer.

Namun demikian, Iqtishādunā menekankan bahwa setiap sistem ekonomi Islam harus mampu mewujudkan distribusi yang adil. Ini sejalan dengan sila kelima dalam Pancasila, yakni “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Ekonomi yang tidak menghadirkan keadilan hanya akan menghasilkan ketimpangan, membuka peluang korupsi, dan merusak keseimbangan kehidupan manusia serta lingkungannya.

Meski begitu, buku ini belum memberikan solusi menyeluruh terhadap kompleksitas sistem ekonomi dan transaksi-transaksi modern yang sangat rumit. Maka tugas menjawab tantangan tersebut berada di tangan para ulama ekonomi masa kini—mereka yang memahami konteks zaman, menguasai ilmu, serta mampu memanfaatkan warisan intelektual seperti Iqtishādunā sebagai landasan berpikir dan kerangka baca dalam menghadapi masalah kekinian dan menawarkan solusi yang relevan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *