Prof. Dr. Dede Nurohman, M.Ag.
Ditranskrip dan diedit oleh Imandega M.

Sebenarnya, Iqtishādunā: Buku Induk Ekonomi Islam itu layak disebarluaskan. Buku ini telah dicetak oleh banyak penerbit. Setidaknya ada tiga penerbit yang saya ketahui yang telah menerbitkannya. Pertama, cetakan dari Penerbit Zahra pada tahun 2008. Kedua, dari Rausan Fikr Institute pada tahun 2012. Dan yang terakhir, diterbitkan oleh Sadra Press pada tahun 2020. Bukunya ada di depan kita saat ini. Ini menunjukkan bahwa di Indonesia saja sudah ada tiga penerbit yang merasa penting untuk mencetak buku ini. Ini bukan sekadar isapan jempol. Buku ini memang luar biasa, menjadi rujukan utama bagi siapa pun yang membahas ekonomi Islam. Bahkan, buku ini telah membentuk suatu mazhab tersendiri dalam peta pemikiran ekonomi Islam di Indonesia.
Kalau kita membaca tulisan-tulisan seperti karya Adiwarman Karim, di sana terdapat klasifikasi yang membagi pemikiran ekonomi Islam ke dalam tiga aliran. Pertama adalah aliran mainstream. Tokoh-tokohnya berasal dari kalangan sarjana dan guru besar alumni perguruan tinggi di Eropa yang sangat kompeten di bidang ekonomi, dan bekerja di bawah naungan IDB (Islamic Development Bank). Mereka merumuskan dan memelopori kajian-kajian ekonomi Islam, termasuk teori dan konsep-konsepnya. Tokoh-tokoh seperti Umer Chapra, M. Nejatullah Siddiqi, dan M. Mannan adalah di antaranya.
Aliran mainstream ini berkembang cepat karena secara metodologis, mereka hanya mengganti roh dari kapitalisme—yaitu individualisme, liberalisme, utilitarianisme—dengan roh Islam. Maka konsep-konsep ekonominya dapat segera diterapkan dalam praktik. Berdirinya lembaga-lembaga keuangan syariah, bank syariah, dan institusi-institusi ekonomi Islam lainnya merupakan bukti kesuksesan dari aliran ini.
Aliran kedua adalah aliran kritis. Tokoh-tokohnya seperti Timur Kuran, Jomo Kwame Sundaram, dan Muhammad Arif. Mazhab kritis ini mengkritik para pemikir sebelumnya, termasuk juga aliran Iqtishādunā. Mereka beranggapan bahwa gagasan ekonomi Islam yang dikembangkan oleh Sadr, karena digali langsung dari al-Qur’an dan hadis, kesulitan dalam aplikasinya di dunia modern. Misalnya, dalam bukunya Al-Bank al-Lāribawī, Sadr menuliskan prinsip-prinsip perbankan Islam secara ketat. Ketika dibandingkan dengan produk-produk perbankan syariah dari aliran mainstream, yang lebih fleksibel, perkembangan aliran mainstream memang lebih pesat.
Namun, aliran kritis ini juga mengkritik aliran mainstream karena terlalu mengambil konsep-konsep dari teori ekonomi sekuler tanpa mengindahkan perbedaan ideologi dan peradaban antara Islam dan Barat. Bagi mereka, ini terlalu pragmatis dan mengorbankan nilai-nilai dasar Islam.
Aliran ketiga adalah aliran Iqtishādunā. Tokohnya adalah Muhammad Baqir Sadr, penulis buku yang sedang kita kaji ini. Mazhab ini berupaya menggali konsep-konsep ekonomi Islam langsung dari sumber utamanya, yaitu al-Qur’an dan sunnah. Ia sama sekali tidak merujuk pada teori-teori ekonomi Barat. Dengan landasan filosofis yang sangat dalam, Sadr mencoba merumuskan konsep ekonomi Islam secara orisinal.
Karena itu, dalam salah satu pemikirannya, ia menegaskan bahwa ekonomi Islam bukan sekadar ilmu (science), tetapi merupakan doktrin. Doktrin ini, yang digali oleh Sadr, kemudian melahirkan para pemikir ekonomi Islam yang sejalan dengan pendekatan ini. Meski pertumbuhannya tidak secepat aliran mainstream, ia tetap berkembang. Perlu diingat bahwa aliran mainstream sudah masuk dalam pendidikan tinggi, seperti pendirian Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam serta program studi ekonomi Islam, dan didukung besar-besaran oleh IDB. Inilah peta awal yang saya jelaskan.
Konteks Historis Lahirnya Iqtishādunā
Jika kita mengkaji biografi Baqir Sadr, kita akan melihat bahwa beliau memang sosok yang sangat istimewa. Di usia kanak-kanak, ia sudah memahami filsafat. Di usia belasan, ia sudah menulis buku dan mengkritik para teolog. Di usia tiga puluhan, ia sudah menjadi seorang ulama mujtahid dengan karya-karya yang sangat banyak.
Ada tiga karya penting yang berkaitan langsung dengan ekonomi Islam. Pertama, Falsafatuna yang meskipun fokus pada kajian filsafat, tetapi memuat fondasi penting bagi lahirnya gagasan ekonomi Islam. Kedua, Iqtishādunā yang sedang kita kaji ini. Ketiga, Al-Bank al-Lāribawī.
Sebagaimana disampaikan oleh Prof. Abdelaziz Abbaci, buku ini lahir dalam konteks umat Islam yang tengah menghadapi persoalan serius. Negara-negara Islam saat itu digolongkan sebagai negara berkembang, atau secara tersirat: terbelakang, miskin, dan tertinggal secara ilmu pengetahuan.
Sebaliknya, negara-negara maju adalah negara-negara Barat. Ini menunjukkan ketimpangan global yang nyata. Umat Islam mengalami tiga bentuk subordinasi. Pertama, subordinasi politik sebagai warisan dari kolonialisme Eropa. Kedua, subordinasi ekonomi. Sejak abad ke-16 hingga 18, bangsa-bangsa Eropa dalam era merkantilisme menjajah negara-negara Muslim yang kaya sumber daya alam, termasuk Indonesia. Akibatnya, ekonomi negara-negara Islam menjadi sangat lemah. Ketiga, subordinasi metodologis: umat Islam kehilangan cara dan metode untuk mengembangkan negaranya secara mandiri, dan hanya diajari bahwa satu-satunya jalan adalah mengikuti resep-resep kapitalisme.
Padahal, kapitalisme adalah paham yang lahir dari budaya dan peradaban yang berbeda dari Islam. Ideologinya, cara pandangnya terhadap kehidupan, dan cita-cita hidupnya berbeda. Maka, tidak relevan jika paham ini dijadikan resep bagi kebangkitan umat Islam.
Di sisi lain, ada tawaran sosialisme, tetapi ini pun tidak cocok dengan Islam, baik secara teologis maupun filosofis. Dalam kegelisahan itulah Baqir Sadr menulis buku ini. Ia mengkritik kedua paham besar tersebut—kapitalisme dan sosialisme—dan mencari jalan alternatif yang sesuai dengan Islam.
Buku ini, oleh karena itu, memiliki kedalaman yang luar biasa. Karena itu pula saya sangat tertarik dengan buku ini. Saya telah memilikinya sejak lama dan membacanya berkali-kali.
Maka, saya ingin menegaskan bahwa Anda—mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, baik S1, S2, maupun S3—wajib membaca buku ini. Wajib memahaminya secara serius. Sebab, dengan memahami buku ini, Anda akan memiliki fondasi yang kuat untuk mengembangkan konsep-konsep ekonomi Islam lebih lanjut.
Struktur Buku Iqtishādunā
Struktur buku ini cukup ringkas: terdiri dari dua bagian besar, dan masing-masing bagian terdiri dari tiga bab. Fokus utama buku ini, selain membangun pondasi ekonomi Islam, adalah pada soal distribusi. Kita biasa memahami distribusi secara sempit, yaitu proses penyaluran barang dari produsen ke konsumen melalui distributor.
Namun, yang dimaksud distribusi oleh Sadr jauh lebih luas dari itu. Ia membaginya menjadi dua dimensi: distribusi primer dan distribusi sekunder.
Distribusi primer berkaitan langsung dengan proses produksi. Dalam konteks ini, Sadr bertanya: siapa yang berhak atas hasil produksi sebelum ia masuk ke pasar? Dengan kata lain, siapa yang memiliki bagian atas suatu barang ketika barang itu dihasilkan? Pertanyaan ini menyangkut soal kepemilikan sumber daya, tenaga kerja, dan peran modal dalam proses produksi. Sadr berpendapat bahwa dalam Islam, distribusi primer harus mencerminkan keadilan sejak dari asalnya, yakni sejak proses produksi dimulai. Tidak boleh ada eksploitasi atas tenaga kerja, tidak boleh ada akumulasi kekayaan secara tidak sah oleh pemilik modal.
Sementara itu, distribusi sekunder menyangkut proses redistribusi kekayaan setelah produksi terjadi. Di sinilah peran negara, zakat, infak, khumus, dan berbagai instrumen keuangan Islam lainnya mengambil tempat penting. Redistribusi ini bukan sekadar bersifat amal atau sukarela, melainkan bagian dari sistem keadilan sosial yang wajib ditegakkan oleh negara Islam. Negara bertanggung jawab memastikan bahwa tidak ada kekayaan yang menumpuk di tangan segelintir orang dan bahwa kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi.
Dengan dua konsep distribusi ini, Sadr ingin menegaskan bahwa Islam tidak membiarkan mekanisme pasar bekerja secara bebas tanpa kontrol nilai dan moral. Ia menolak determinisme ekonomi ala kapitalisme yang menyandarkan segalanya pada “invisible hand”. Bagi Sadr, tangan yang tidak terlihat itu harus dituntun oleh hukum ilahi, oleh prinsip-prinsip syariat yang menjamin keadilan sosial dan kesejahteraan bersama.
Konsep Nilai dan Tujuan Ekonomi Islam
Lebih lanjut, Sadr juga menyoroti persoalan nilai dalam ilmu ekonomi. Ia menolak pandangan ekonomi modern yang mengklaim dirinya “netral nilai” (value-free). Dalam pandangan Sadr, ekonomi tidak mungkin netral. Setiap teori ekonomi selalu berpijak pada asumsi-asumsi filosofis dan ideologis tertentu. Maka, ekonomi Islam tidak boleh tunduk pada kerangka berpikir ekonomi sekuler. Ia harus dibangun di atas fondasi nilai-nilai Islam: keadilan, kemaslahatan, persaudaraan, dan tanggung jawab sosial.
Karena itu, tujuan akhir ekonomi Islam bukan sekadar pertumbuhan, efisiensi, atau akumulasi kekayaan, melainkan terciptanya masyarakat adil dan beradab—al-mujtama‘ al-‘ādil al-fāḍil. Dalam masyarakat seperti ini, kekayaan bukan tujuan akhir, tetapi sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menunaikan amanah sosial. Setiap individu dipandang sebagai khalifah yang bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya, bukan pemilik mutlak yang bebas mempergunakannya sesuka hati.
Inilah inti pemikiran Iqtishādunā. Buku ini bukan sekadar teks ekonomi, melainkan manifesto peradaban. Ia mengajak umat Islam untuk berpikir ulang tentang dasar-dasar sistem ekonominya sendiri, menggali kekayaan khazanah Islam, dan membangunnya menjadi sistem alternatif yang adil, bermoral, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.
Membaca dan memahami buku ini, apalagi bagi mahasiswa ekonomi Islam, bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Ia adalah tonggak untuk membangun kembali kebangkitan ekonomi umat yang mandiri dan berdaulat—tidak bergantung pada sistem Barat, tapi juga tidak larut dalam romantisme masa lalu. Ia memadukan kekuatan wahyu dengan keberanian berpikir kritis dan visi masa depan.
Semoga kajian kita terhadap Iqtishādunā ini menjadi awal dari langkah besar membangun epistemologi ekonomi Islam yang tangguh dan transformatif.