Ditranskrip dan diedit oleh Imandega M.

Dalam Bahasa Arab modern, istilah yang umum digunakan untuk merujuk pada “ekonomi” adalah iqtiād. Namun demikian, penting untuk disadari bahwa penggunaan term ini dalam konteks al-Qur’an berbeda secara semantik. Meskipun terdapat akar kata yang serupa—seperti dalam frasa fa-min-hum muqtaid—istilah tersebut dalam al-Qur’an tidak merujuk kepada pengertian ekonomi sebagaimana dipahami dalam wacana kontemporer, melainkan merujuk pada makna moderasi, keseimbangan, atau jalan tengah dalam berperilaku. Tetapi bukan berarti al-Qur’an tidak memiliki pesan-pesan moral tentang ekonomi.

Tidak masuk akal jika agama yang kita yakini sebagai ajaran yang agung, sempurna, dan menyeluruh—yang mengatur setiap aspek kehidupan manusia—ternyata tidak berbicara tentang salah satu tema paling penting dalam kehidupan: ekonomi. Jika Islam memberikan tuntunan hingga perkara-perkara kecil seperti doa sebelum makan dan tidur, adab keluar rumah dan masuk kamar kecil, bahkan urutan mengenakan pakaian dan etika saling memberi salam, maka mustahil al-Qur’an mengabaikan urusan besar, vital, dan menentukan seperti persoalan ekonomi.

Demikian pula dengan kata fulūs yang lazim digunakan di dunia Arab saat ini untuk menyebut uang. Kata ini tidak ditemukan dalam al-Qur’an. Hal yang sama berlaku untuk kata nuqūd, bentuk jamak dari naqd (uang tunai), yang juga tidak ditemukan di dalam mushaf. Padahal, secara realitas, tidak ada seorang pun yang dapat hidup tanpa bersentuhan dengan perkara ekonomi. Setiap orang dalam kehidupan sehari-harinya pasti menghadapi problem ekonomi, karena ekonomi menjadi fondasi kehidupan duniawi manusia. Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal bila dikatakan bahwa al-Qur’an—yang merupakan petunjuk bagi kehidupan manusia secara menyeluruh—tidak berbicara tentang ekonomi.

Jika al-Qur’an tidak menggunakan istilah-istilah seperti iqtiād, fulūs, atau nuqūd dalam konteks ekonomi modern, maka pertanyaannya bergeser menjadi: bagaimana al-Qur’an menyampaikan pembahasan ekonominya?

Karena itu, pencarian term ekonomi dalam al-Qur’an sebaiknya dimulai dengan kata mālmālun, amwāl, māliyyah, dan berbagai derivasinya. Saya curiga, jangan-jangan itu sebabnya pusat perbelanjaan dinamai dengan “mal”, karena di situ berputar uang—māl.

Setahu saya—tolong nanti dikoreksi ya—dalam al-Qur’an, kata māl itu terulang tidak kurang dari 86 kali, dengan berbagai bentuknya: mufrad, jamak, yang disandarkan kepada amīr mutakallim (mālī), ghaib (māluhum), atau lainnya. Bahkan ada juga yang disandarkan kepada Allah subḥānahu wa ta‘ālā.

Sebagian mufasir dan pemikir Muslim, seperti Hasan Hanafi, menganggap bahwa banyaknya penyebutan suatu tema dalam al-Qur’an merupakan indikator pentingnya tema tersebut. Jika prinsip ini digunakan, maka dapat disimpulkan bahwa pembahasan tentang harta—dengan segala turunannya—merupakan salah satu tema besar dalam al-Qur’an. Hal ini menunjukkan bahwa persoalan ekonomi dalam al-Qur’an bukanlah tema sampingan, melainkan tema sentral dan fundamental.

Jadi, kata kunci pertama ketika kita hendak menelusuri tema ekonomi dalam al-Qur’an bukan iqtiād, bukan fulūs, bukan pula nuqūd, apalagi awrāq—yang biasanya merujuk pada mata uang kertas.

Kata kunci pertama dan utama adalah māl.

Kenapa? Karena diyakini bahwa setiap ayat dalam al-Qur’an yang mengandung kata māl pasti berbicara tentang ekonomi—baik dalam pengertian makro maupun aplikatif.

Indikasi kedua yang menunjukkan kepedulian al-Qur’an terhadap tema ekonomi, selain frekuensi penyebutan kata māl yang hampir 90 kali (tepatnya 86 kali), adalah:

Ayat terpanjang dalam al-Qur’an bukan ayat salat.

Ayat salat hanya cukup dengan frasa seperti aqīmūalāh. Demikian juga, ayat terpanjang itu bukan tentang puasa, bukan tentang haji, bukan tentang umrah, bahkan bukan tentang haid atau nifas.

Ayat terpanjang dalam al-Qur’an justru berbicara tentang hutang-piutang.

Ada yang tahu? Betul, ayat tentang dain—tentang hutang (QS. al-Baqarah [2]:282). Seolah-olah Allah Swt. ingin menyampaikan kepada kita bahwa tak satu pun dari kita yang akan lepas dari urusan hutang-piutang. Dalam surat al-Baqarah, ayat itu menempati satu halaman penuh! Sangat panjang. Apa maknanya? Maknanya, bahwa hutang-piutang adalah bagian tak terpisahkan dari roda ekonomi. Selain jual-beli, al-Qur’an juga menaruh perhatian besar pada mekanisme hutang.

Sekali lagi saya tegaskan: Islam melalui al-Qur’an menjadikan ekonomi sebagai salah satu poros penting kehidupan manusia. Bukan sekadar pinggiran, tapi poros utama.

Kalau saya tidak keliru, Ayatullah Ruhullah Khomeini pernah menulis dalam salah satu bukunya—atau mungkin yang menulis adalah Dr. Ali Syari‘ati—bahwa:

Alih-alih berfokus pada kewajiban ibadah dalam pengertian ritualistik, al-Qur’an justru lebih banyak berbicara tentang kehidupan nyata: tentang hutang-piutang, tentang kharāj, tentang mudārabah, murābaah, dan lain sebagainya; juga tentang kapan sebuah kekuasaan boleh menyatakan perang, dan kapan harus memilih damai.

Dengan kata lain, Islam bukan hanya agama akhirat. Yang lebih penting, Islam adalah agama kehidupan.

Al-Islām dīn al-ayāh.

Dan dalam kehidupan, apa poros terpentingnya? Tak lain: ekonomi.

Yang ingin saya tekankan: tema ekonomi adalah tema besar dalam Islam, dan kalian yang mengambil jurusan Ekonomi Syariah maupun Hukum Ekonomi Syariah insyaallah tidak salah pilih. Kalian sudah on the right track—sudah berada di jalur yang benar.

Bukan berarti prodi lain tidak benar, tentu tidak. Tapi kalian sudah berada pada salah satu jalur penting. Tinggal bagaimana sekarang kita bisa melahirkan rumusan-rumusan ekonomi baru yang lebih relevan.

Karena kalau kita bicara soal dalil-dalil fikih, kaidah-kaidah tentang harta, semua itu adalah hasil rumusan para ulama klasik. Sebagian besar dari mereka hidup di abad ke-4 atau ke-5 Hijriah.

Sementara sekarang kita hidup di abad ke-15 Hijriah—berarti ada jarak seribu tahun lebih antara konteks sosial para ulama terdahulu dengan realitas ekonomi kita hari ini.

Maka dari itu, para ekonom muslim ditantang untuk tidak sekadar mengulang rumusan lama, tapi menarik benang merah dan intisarinya, lalu merumuskan ulang sesuai dengan zaman.

Fikih klasik memang menyimpan kekayaan metodologis dan konseptual yang luar biasa. Namun, banyak kaidah dan fatwa dalam fikih tersebut lahir dari konteks geografis, kultural, dan historis tertentu. Sebagai contoh, sebagian ulama menyatakan bahwa istinja cukup dilakukan dengan tiga batu. Dalam konteks kehidupan masyarakat Arab pada masa itu, mungkin hal ini dapat dipahami. Namun, dalam konteks kehidupan modern, dengan adanya air, tisu, sabun, dan sarana kebersihan lainnya, maka bentuk istinja tentu bisa berbeda, meski tujuannya tetap sama: menjaga kebersihan.

Contoh ini menunjukkan bahwa banyak kaidah fikih dibentuk berdasarkan kondisi realitas pada zamannya. Maka dari itu, ketika realitas berubah, sangat mungkin—dan bahkan perlu—untuk melakukan ijtihad baru yang relevan dengan tantangan zaman. Hal ini berlaku juga dalam bidang ekonomi.

Kita kini hidup di era digital, era di mana uang sudah tidak lagi hanya berbentuk fisik, tetapi juga digital dan virtual. Perkembangan teknologi keuangan seperti cryptocurrency, e-wallet, sistem QRIS, dan transaksi digital lainnya telah mengubah wajah ekonomi global. Dalam konteks ini, hukum-hukum baru dalam bidang ekonomi Islam perlu dikaji dan dikembangkan.

Hal ini menjadi tugas para akademisi dan mahasiswa, terutama yang menekuni studi Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Syariah. Mereka tidak cukup hanya menguasai ilmu fikih klasik, tetapi juga harus mampu membaca realitas sosial-ekonomi kontemporer secara kritis dan kreatif. Tugas ini memerlukan penguasaan metodologi ijtihad, pemahaman terhadap maqāṣid al-syarī‘ah, dan keberanian untuk melakukan pembaruan hukum (tajdīd) dalam koridor prinsip-prinsip Islam.

Al-Qur’an telah memberikan fondasi yang kuat untuk pengembangan sistem ekonomi yang adil, seimbang, dan berorientasi pada kesejahteraan umat. Namun, fondasi ini memerlukan pembangunan institusional, konseptual, dan aplikatif agar dapat menjawab tantangan zaman modern.

Dengan demikian, studi ekonomi Islam harus menjadi kajian yang hidup, dinamis, dan transformatif. Ia bukan sekadar reproduksi teks klasik, tetapi juga rekonstruksi pemikiran untuk masa depan umat manusia yang lebih adil dan berkeadaban.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *